Dunia yang penuh tanya



Kemarin, kami mengadakan kumpul keluarga di rumah orangtuaku. Semenjak berkeluarga, lama sudah aku tak bersua dengan mereka. Aku dan keluarga kakakku sudah berkumpul lebih dahulu. Kami bercanda tawa di ruang tamu. Tak lama kemudian, sepupu-sepupu, om-om dan tante-tanteku mulai berdatangan. Tapi banyak juga yang tak kukenal. Mungkin mereka membawa mertuanya? Atau ipar-iparnya? Entahlah. Yang jelas mereka tampak asing di mataku.

Sepupu-sepupuku langsung menyebar ke dalam rumah. Kutebak, mereka terbagi kubu menjadi dua, ada yang ke kamar adikku yang anak ketiga, dan adikku yang anak ke empat. Sebab di kamar adikku yang anak ketiga, banyak sekali novel. Sementara di kamar adikku yang anak ke empat, banyak sekali komik. Ya, kami empat bersaudara dan perempuan semua. Aku adalah anak kedua. Kamarku dan kamar kakakku berada di atas. Baru kami berdua yang berkeluarga.

Semenjak sepupu-sepupuku datang, adik-adikku masuk ke kamar mereka. Mungkin ingin bergabung, atau justru mengamankan buku-buku berharganya? Entahlah. Kini di ruang tamu, hanya satu sepupuku yang duduk di sebelahku di ruang tamu, sisanya adalah orangtuaku, para om dan tante, dan beberapa orang tak kukenal. Mereka mulai berbasa basi sambil menyantap makanan, sementara aku, hanya menyantap makanan, karena aku bukan tipe orang yang suka berbasa basi. Sepupu yang ada di sebelahku pun tak kuajak berbicara, karena kami memang tak terlalu dekat.

Pada akhirnya tante yang duduk di sebelahku memulai percakapan dengan sepupuku, dan dari pertanyaan itu mulai berkembanglah pertanyaan-pertanyaan lain dan aku mulai ikut nimbrung. Kemudian, aku merasakan darah mengalir dari hidungku, tampaknya aku mimisan. aku mengambil tissue yang ada di atas meja. Tapi anehnya, bukan darah yang keluar, tapi cairan bening kehijauan, mirip ingus tapi bukan ingus. Tanteku kaget melihatnya, dia hanya menyodorkan banyak lagi tissue kepadaku.

Tak lama kemudian, sepupuku yang dokter baru datang. Dia bersama dengan dua laki-laki yang tidak kukenal, membawa koper besar. Dia masuk dan cepat-cepat mengambil tissue sambil menutup hidungnya. Aneh, padahal aku tidak melihat darah setetes pun keluar dari hidungnya, ataupun cairan lain. Atau mungkin karena penglihatanku terhalang tissue?

Setelah itu, dia langsung masuk ke dalam rumah, tanpa berbasa basi dulu pada om dan tanteku, bahkan orangtuaku. Dia melongok ke arah kamar orangtuaku, kemudian ke atas, mungkin ke kamar kakakku, karena mereka cukup dekat.

Setelah bosan dan kehabisan bahan berbasa-basi, aku pun pamit masuk ke dalam. Aku menengok ke kamar adikku yang anak ketiga. Loh, ternyata dia hanya sendirian di kamar?


“Loh kok sendirian? Yang lain mana?” tanyaku padanya yang sedang asyik membaca novel sambil tiduran, wajahnya seluruhnya tertutup novel. Mendengar pertanyaanku, dia cuma memunculkan matanya dari balik novel, mengangkat alis sambil megangkat bahunya, tanda tak peduli.

Aku pun menutup pintu dan menuju kamar adikku yang satu lagi. Ternyata memang beberapa sepupuku sedang berkumpul di sana, asyik membaca komik. Tapi rasanya terlalu sedikit orangnya. Mana yang lainnya? Ah, jangan-jangan mereka masuk ke kamarku?

Aku segera naik ke atas, tidak rela jika kamarku diacak-acak sepupu-sepupuku. Tapi apa yang kulihat sungguh mengejutkan. Cairan bening kehijauan seperti yang keluar dari hidungku menggenang banyak di depan kamarku, asalnya dari dalam kamarku. Dengan takut-takut aku membuka pintu kamarku. Tapi ternyata kamarku kosong, hanya cairan menggenang yang terlihat.

Aku merasa takut dan menceritakannya pada tanteku, yang kupikir juga melihat cairan hijau bening dari hidungku.

“Cairan bening? Tapi tadi hidungmu berdarah kok. Kamu mimisan banyak sekali. Makanya tante kaget dan buru-buru memberikan banyak tissue.”
“Apa? Tapi bagaimana dengan Nani? Tadi dia juga mengambil banyak tissue padahal aku tidak melihat darah satu pun menetes dari hidungnya?!”
“Nani? Tapi kan dia tidak datang.”
“Tapi.. tapi tadi dia ada kok. Sama dua orang, aku tidak kenal siapa.”
“Ah, kamu ngelindur deh. Kamu pusing kali karena mimisan tadi.. coba kamu istirahat dulu.”
“Hah?”

Aku bingung. Alisku sampai sakit rasanya saking berkerutnya. Lalu aku ingat kembali pada cairan bening kehijauan di atas, jadi kubujuk-bujuk tanteku agar mau ikut ke atas dan melihat cairan itu.

“Tuh lihat tante. Cairan bening kehijauan itu banyak sekali! Dan asalnya dari kamarku. Tapi kamarku kosong!”
“Cairan?!” tanteku menatap lantai dengan bingung. “Tapi lantainya bersih kok!” lanjutnya.
“Tapi itu a..,” penjelasanku terhenti karena anak-anak sepupuku yang masih berumur tiga dan empat tahun berlari-larian ke atas, mereka sedang main tembak-tembakan, dan mereka berlarian melewati cairan bening kehijauan itu tanpa sedikitpun kecipratan. Cairan itu tetap menggenang tenang.
“Tuh kan, itu si Rayhan sama Afgar aja lari-larian ngga apa-apa. Kalau memang ada cairan seperti yang kamu bilang pasti mereka kepeleset.” Kata tanteku memperkuat alasannya. “Kamu pusing kali karena mimisan tadi?” katanya lagi.

Mungkin juga. Mungkin aku memang pusing. Kemudian aku melihat di bawah, sepupuku yang dokter sedang keluar dengan terburu-buru. Dan aku sadar. Darahku, mimisanku, mimisannya, cairan ini, dan orang-orang yang tak kukenal. Aku sedang berada di dunia paralel. Seperti sinyal radio yang bias, kita bisa mendengar dua siaran sekaligus tapi keduanya tak jelas, seperti telpon yang bocor, kita bisa mendengar percakapan di sana tapi tidak jelas. Berarti sekarang, aku berada di antara dua rumah sekaligus. Dan genangan cairan itu adalah da.. da.. darah!

Darah siapa? Oh, aku merasa limbung. Apa yang sepupuku lakukan di rumah itu? Oh tidak....

***

Aku terbangun terbaring di kamarku. Sendirian. Dengan meja kecil di samping tempat tidurku, di atasnya ada mangkok berisi air dingin, dan di sebelahnya ada minyak kayu putih. Aku meraba pelipisku, ada sapu tangan basah di sana.

Tak lama kemudian, ibuku muncul dari balik pintu.

“Oh, sudah bangun?”
“Iya ma. Jam berapa sekarang? Masku sama Rasya mana?”
“Jam tujuh malam. Masmu sama Rasya lagi main tuh di bawah, sama Zakki juga.”
“Oh, Zaki belum pulang?” tanyaku menanyakan ponakanku, anak kakakku yang lebih tua setahun dari Rasya, anakku.
“Belum.” Kata ibuku sambil meletakkan saputangan di pelipisku dengan kompresan air yang masih dingin.
“Tamu-tamu yang lain udah pulang?”
“Udah dari tadi. Udah, malam ini nginep aja, kamu masih demam. Besok kalo udah enakan baru pulang. Masmu juga setuju kok.” Usul mamaku, dan aku mengangguk lemas.

Aku melihat sekitar dan menyadari kamarku berantakan. Melihat roman mukaku, tampaknya ibuku mengerti, “tadi ponakan-ponakan sama sepupu-sepupu pada main di sini. Tapi begitu kamu pingsan, mereka bubar, langsung ngosongin kasur buat kamu.”

“Ohh..” aku hanya bisa mangangguk pasrah. Sebelum pingsan, mereka sama sekali tidak tampak di mataku.
Keesokan harinya aku pulang dan tidak ada hal aneh terjadi. Mungkin kejadian kemarin memang hanya halusinasiku saja akibat demam. Minggu-minggu berikutnya terasa normal, dan hari ini, aku berkeliling rumah saudara-saudaraku, mengantarkan undangan Rasya sunatan.

Di rumah Tante Ina, tante yang mengaku tidak melihat cairan itu, segalanya tampak biasa sampai aku naik ke lantai dua rumahnya untuk beribadah. Lagi-lagi, aku melihat cairan bening keluar dari bawah pintu kamar di lantai dua. Dan disampingnya, ada jendela dan aku bisa melihat seorang laki-laki berjas putih sedang me.. me.. memegang pisau penuh darah, dan ada laki-laki terkapar di depannya. Mulutku terbuka dan tapi teriakanku tertahan, saat itu sang dokter menengok ke arahku dan tampaknya dia bisa melihatku.

Aku tidak sedang mimisan dan aku tidak sedang demam. Maka apa yang kulihat bukanlah halusinasi! Aku segera turun dan bertanya pada tanteku, “Apa yang dokter itu lakukan di rumah ini?”

Lagi-lagi tanteku tampak bingung. “Kamu pusing lagi ya?” lalu tanteku ke atas sambil menarikku. “Nah, apa yang kau lihat di sini?” tanyanya, matanya berkeliling ruangan yang kini tampak bersih dan.. kering.
“Tapi.. tapi.. di sana tadi..” sahutku terbata-bata sambil menunjuk ke arah lantai dan kamar.
Tanteku membuka pintu dan terlihat ruang kosong di kamarnya.
“Aku.. aku.. apa.. ada dokter praktek dekat-dekat sini?”
“Ada. Di rumah sebelah. Kenapa? Kamu pusing ya? Mau ke dokter?”
Aku tidak tahu. Aku bingung apakah yang kulihat halusinasi atau bukan. Tapi akhirnya aku menggeleng. “aku pamit pulang saja Tante,”jawabku.

Aku parkir di depan rumah tanteku, antara rumahnya dan praktek dokter yang disebutkan tanteku. Rumah dokter itu berlawanan arah dengan arah pulangku. Aku masuk mobil dan melambai pada tanteku. Ketika aku menutup jendela, sebelum menginjak gas aku menengok sekilas ke arah rumah praktek dokter itu. Pintunya terayun membuka, dan wajah dokter yang terlihat keluar adalah dokter yang aku lihat di lantai dua!


TAMAT

0 Response to "Dunia yang penuh tanya"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel