Hati-hati dalam memberi julukan
“Lila, kamu tahu ngga kalau nama
itu doa?” tanya Kak Ayu memulai pembicaraan. Siang ini aku menemani kakak
iparku itu menjemput Sarah, anak pertamanya yang berumur delapan tahun.
“Tahu kak, kenapa?”
“Nah, bagus kalau kamu sudah
tahu. Itu bekal pertama untuk anakmu nanti.” Sahutnya sambil melirik sebentar
sambil jempolnya menunjuk ke arah perutku yang belum terlihat membuncit. Umur janinku
baru tujuh minggu.
“Tapi nama itu bukan cuma nama
yang tertera di akte,” lanjutnya sambil terus menyetir mobil sedannya dengan
kecepatan rata-rata, sebab tidak mungkin menyetir dengan cepat saat jalanan
cukup ramai begini.
“Oh ya? Maksud Kak Ayu gimana?”
“Maksud kakak, nama panggilan
atau julukan juga doa. Misalkan saja contoh yang paling sering terjadi, kalau
ada anak kecil disuruh salam ke teman orangtuanya, lalu anak itu malahan
sembunyi di belakang ibunya atau bapaknya, nanti dibilang begini, “Ih kok malu?
Jangan malu, ini teman mama papa kok, ayo salam.” Lalu masih diteruskan lagi ke
temannya, “maaf ya, anakku ini memang pemalu.” Nah itu kan berarti doa dari
orangtuanya. Selain itu juga si anak yang mendengar malah merasa, “oh aku anak
yang pemalu ya.” Dan kalau ini terjadi berulang-ulang, anak itu bisa jadi
pemalu betulan.”
“Jadi kalau begitu gimana dong
kak?”
“Dulu waktu Sarah kecil, dia juga
suka begitu. Kalau disuruh salam sama
teman kakak malah sembunyi di belakang kakak. Tapi kalau teman kakak bilang, “Ih
malu ya?” langsung kakak jawab, “Ngga kok, biasa lah baru kenal. Nanti juga
kalau udah kenal jadi akrab.” Setelah itu kakak jongkok sambil bilang ke Sarah,
“Sarah, ini teman mama, Sarah salam ya?” kalau dia mau ya alhamdulillah, kakak
puji dia, kalau ngga mau ya ngga apa-apa. Toh sebenarnya teman kita juga ngga
ambil pusing anak kita mau salam atau ngga.”
“Oh begitu ya kak, Lila baru
tahu.”
“Nah karena itu hari ini kamu
kakak ajak jemput Sarah, mudah-mudahan ada pelajaran yang bisa kamu ambil.” Kata
Kak Ayu sambil mencari tempat parkir karena kami sudah sampai sekolah Sarah.
“Mamaaaa....” Sarah bersorak
gembira dan berlari menyambut Kak Ayu saat kami memasuki halaman sekolah.
“Assalamu’alaykum cantik.” Sahut Kak
Ayu menyambut Sarah dengan setengah berjongkok kemudian memeluknya.
“Wa’alaykumussalam Mama.” Sarah
membalas erat pelukan Kak Ayu. Sungguh hubungan Ibu dan Anak yang
menginspirasi.
“Umar.. Kak Sarah kangeeen banget
sama Umar.” Peluk Sarah pada Umar, adiknya yang berumur empat tahun yang sedang
kugandeng. “Sarah ngga kangen sama Tante Lila nih?” candaku padanya yang
dijawab dengan cengengesannya, lalu dia pun memelukku.
Setelah berpelukan, Kak Ayu pun
mengajakku ke tempat duduk panjang tak jauh dari tempat kami berdiri. Di sana
para ibu sedang mengobrol sambil menunggu anak-anak mereka yang masih bermain.
“Assalamu’alaykum....” salam Kak
Ayu pada ibu-ibu itu.
“Wa’alaykumussalam.. eh ada Mbak
Ayu, ayu seperti namanya.” Jawab Ibu bergamis hitam putih. Aku setuju dengan
ibu itu, Kak Ayu memang ayu, sesuai namanya. Ya mungkin seperti yang Kak Ayu
bilang, nama adalah doa.
Kak Ayu pun memperkenalkan aku
dengan teman-temannya. Saat itu, Sarah bertanya dengan sopan, “Mama, boleh
Sarah main sebentar dengan teman-teman?”
“Boleh sayang. Sebentar saja ya,
mau sepuluh atau lima belas menit?”
“Lima belas menit.”
“Oke, Mama pasang timer lima belas menit, setelah itu pulang ya.”
“Oke Mama.”
Setelah Sarah pergi, teman Kak
Ayu yang bergamis hitam putih tadi pun berkomentar, “Sarah itu anaknya baik
banget ya.”
“Iya, sopan lagi.” Komentar yang
lain.
“Iya, sudah gitu mau menepati
janji lagi. Kalau sudah lima belas menit diajak pulang langsung mau.”
Komentar-komentar positif keluar
dari mulut teman-teman Kak Ayu itu, yang hanya dijawab dengan “Alhamdulillah”
oleh Kak Ayu.
“Iya, ngga kayak Nabila nih
pemalu banget. Beraninya sembunyi di belakang ibunya aja.” Komentar terakhir
itu membuatku tersadar bahwa di belakang ibu yang berbaju kuning itu ada
seorang anak perempuan yang memegang baju ibunya.
“Nabila, sudah salam belum tuh
sama Tante?” katanya sambil menunjukku. Bukannya mengulurkan tangan, anak itu
semakin kuat menggenggam baju ibunya.
“Tuh kan, kamu mah pemalu banget.”
Katanya sambil menengok pada anaknya, dan masih dilanjutkan sambil menatapku, “Nabila
ini memang pemalu banget.”
“Ah, ngga kok Mbak, belum kenal
aja kali. Nanti juga kalau udah kenal mau ngomong.” Kata Kak Ayu membela anak
itu.
Lalu kulihat ibunya Nabila
membuka mulut seperti mau menyanggah, tapi sudah didahului oleh ibu-ibu yang
lain.
“Ah, daripada Asad tuh nakal
banget! Kalau dibilangin ngga mau nurut.”
“Oh si Rasyad sebenarnya baik
Mbak, cuma biasalah anak-anak kalau lagi serius main, suka ngga dengar suara
kita, mungkin cara kita memanggilnya yang perlu diubah.” Kak Ayu pun membela
anak yang bernama Rasyad.
Lagi-lagi, kali ini saat ibunya
Rasyad mau menyanggah, sudah didahului oleh yang lain. Hampir semua ibu-ibu di
situ mengeluhkan masalah anaknya, ada yang berkata anaknya ngga bisa diam, ada
yang anaknya asyik main gadget
seharian, ada yang bikin rumah berantakan, ada yang bilang anaknya pembohong. Dan
setiap ada yang mengeluh, Kak Ayu berusaha memberi nasihat.
Tapi ternyata, tidak semua orang
mau menerima nasihat. Tampaknya ibu-ibu ini hanya ingin bercerita, bukan mau
mencari solusi. Sayang sekali, padahal kalau mereka mau mendengarkan Kak Ayu,
mungkin anak-anak mereka ini, yang sedang mereka jelek-jelekkan ini, bisa jadi
lebih baik di mata mereka, dan hubungan mereka dengan anak-anak mereka juga
jadi lebih baik.
Yang aneh, mereka menimpali
dengan, “kamu sih enak Mbak Ayu, anakmu penurut”, atau “Ah kamu ngga akan
mengerti Yu, anak kamu kan jujur”, dan komentar-komentar senada. Seakan-akan
Sarah dan adik-adiknya dilahirkan dengan sifat sempurna, tanpa campur tangan
dan didikan Kak Ayu. Memang betul, itu karunia Allah. Tapi sebagai adik, aku
melihat sendiri bagaimana Kak Ayu mendidik anak-anaknya. Bagaimana kejujuran,
kelembutan, dan kesabaran abangku dan Kak Ayu menjadi keteladanan langsung bagi
anak-anaknya.
Hiruk-pikuk obloran itu ditambah
oleh seorang anak lelaki yang menghampiri seorang ibu berbaju merah dengan rok
bunga-bunga dan berkata, “Ma, pinjam handphone!”.
Namun berkali-kali anak itu meminta, ibunya tidak meladeninya. Akhirnya anak
itu berteriak dan memecah hiruk-pikuk itu, “MAMAAAA!!!”
“Apa sih teriak-teriak?! Ngga
lihat apa Mama lagi ngobrol?! Bikin malu aja!”
“Pinjem handphone!”
“Ngga boleh!”
“MAMA PELIT!” teriak anak itu
sambil menarik rok ibunya ke bawah. Ibunya berteriak dan untungnya sang ibu
juga cepat menahan roknya sehingga tidak melorot ke bawah.
Anak itu pun berlari diiringi
teriakan ibunya, “DASAR ANAK SETAAAAN!!!”
Aku melongo dibuatnya, kemudian
kulihat Kak Ayu sedang menatapku penuh arti. Baiklah kak, aku mengerti,
pelajaran di mobil tadi kuterima dengan baik, batinku.
Kak Ayu pun memanggil Sarah
karena timer sudah berbunyi. Kami berpamitan
dengan ibu-ibu yang lain untuk pulang. Dalam perjalanan menuju tempat parkir mobil,
aku terpikir, “Loh kalau anaknya disebut anak setan berarti ibunya adalah .... “
Lalu aku pun tersenyum-senyum
sendiri.
TAMAT.
2 Responses to "Hati-hati dalam memberi julukan"
Makasih mba diingatkan untuk memanggil anak dg nama yg baik
Sama-sama mba :)
Post a Comment