Day-9: Belajar dari kucing
Ada tiga ekor kucing yang suka berkeliaran di
daerah depan rumahku. Sepertinya mereka terdiri dari ibu dan dua anaknya, sebab,
yang kecil suka menyusu pada yang besar, tapi aku ragu apakah yang satu lagi adalah
anaknya juga, sebab dia terlalu besar untuk menyusu, dan aku kurang memperhatikan
apakah dia jantan atau betina (mungkin hari ini akan kuperhatikan jenis kelaminnya).
Tapi meski dia jantan, belum tentu juga dia adalah pasangannya. Jadi mengapa terus
bersama? Atau masih kerabat? Baiklah, cukup sampai di situ. Bukan soal kekerabatannya
yang mau aku bahas, tapi soal lain. Jadi untuk sementara kita simpulkan saja mereka
ibu dan anak-anaknya.
Si ibu, berwarna putih abu-abu (kok kayak seragam
SMU? Oh, whatever, focus please), si anak
yang besar belang tiga (putih, abu-abu, dan kuning), sementara yang paling kecil
berwarna hitam sepenuhnya.
Awal kami menyadari adanya ketiga kucing ini
adalah karena mereka suka mengacak-acak tong sampah di depan rumah karena mencari
makanan. Aku dan suami agak kesal sebab plastik sampah jadi berantakan. Tapi anakku malah senang karena ada banyak kucing. Tapi hebatnya, dia memang selalu senang
terhadap apa pun sih, pikirannya belum kotor sama hal-hal negatif seperti orang
dewasa, jadi selalu semangat dan positif. Memang, kita harus banyak belajar dari
anak kecil, semangatnya, positifnya, kejujurannya, ide-idenya, belajarnya,
dan masih banyak lagi. Tapi bukan itu yang mau aku bahas di sini. Tapi hal lainnya.
Karena tong sampah berantakan yang berarti mereka
lapar, dan karena anakku suka kucing, akhirnya tercetus ide "sekali-sekali memberikan
makanan sisa ke ketiga kucing itu". Sudah beberapa kali aku dan anakku memberikan
mereka makan, di rumput di daerah terluar rumah tentunya. Sebab kalau terlalu dekat
dengan pintu masuk, khawatir kucingnya lama-lama masuk ke rumah cari makan.
Sudah beberapa kali hal ini kami lakukan. Lalu
kemarin, ada beberapa sisa ceker ayam yang kalau dibiarkan bisa basi, di anget-angetin
lagi pun percuma karena ngga akan ada yang makan. Akhirnya, daripada mubazir, akan
diberikan pada "keluarga kucing".
Anakku seneng banget melempar ceker-ceker itu
ke kucing, sampai kucingnya malah kabur karena takut. Aku bilangin untuk lempar
pelan-pelan supaya kucingnya mau makan. Ketika ketiga kucing itu sedang asik makan
potongan ceker, Anakku pun meminta lagi potongan ceker baru untuk dilempar. "Nanti,
tunggu makanannya habis," kataku. Tapi yang namanya anak kecil, kalau sudah
ada maunya kadang sangat konsisten dan persistent. Akhirnya, karena kupikir toh
ngga ada ruginya kasih satu potong lagi, jadi kukabulkan keinginannya. Toh resikonya
paling ada sisa tulang ayam yang ditinggalin karena salah satu kucing mengambil
yang baru.
Tapi apa yang terjadi saudara-saudara? Kucing-kucing
itu tidak mengambil makanan yang dilempar. Mereka cuma melirik sebentar lalu melanjutkan
makannya. Anakku sampai bertanya, "Ma, kok ayamnya ngga dimakan?" "Iya,
soalnya makanan yang dia pegang belum habis, jadi dia habiskan dulu supaya ngga
mubazir," begitulah jawaban sotoy dariku dari kesimpulan sementara yang kuambil.
Lalu salah satu dari mereka makanannya habis, dan baru si kucing itu menghampiri
makanan yang baru. Kucoba lagi memberi makanan saat semuanya sedang makan. Hal yang
sama tejadi lagi, mereka cuma melirik dan kembali pada makanan masing-masing. Setelah
habis, baru mereka mendatangi yang baru. Kucoba lagi dan lagi, tapi hasilnya tetap
sama. Subhanallah. Ternyata kucing tidak memiliki sifat rakus. Ternyata aku sebelumnya
telah su'udzon pada mereka, menyangka mereka punya sifat rakus seperti manusia,
yang dapat tergiur saat melihat barang yang lebih baru, lebih bagus, lebih enak,
dan lebih-lebih lainnya. Subhanallah. Ternyata kucing memiliki sifat bersyukur terhadap
apa yang mereka miliki. Ternyata manusia bisa belajar dari kucing, belajar bersyukur
terhadap apa yang dimiliki, belajar menguasai hawa nafsu, meskipun godaan makanan
ada di depan mata.
1 Response to "Day-9: Belajar dari kucing"
Hmmm.. jadi pengen nyoba :D
Post a Comment